Radio Memberikan Apa Maunya Pendengar
Harian Kompas Minggu : Suatu saat, Radio Kayu Manis, Jakarta, merekrut penyiar muda untuk regenerasi dan memperluas pasar pendengar. Didapatlah beberapa orang, tetapi belum sampai tiga bulan mereka sudah ”kabur”. Alasannya simpel, tidak betah bergaul dengan penyiar lain yang berusia di atas 40 tahun. Sebaliknya, karyawan berusia di atas 60 tahun—sambil nangis-nangis—tidak mau dipensiunkan. Radio Kayu Manis (RKM) FM yang mengudara di frekuensi 97,9 MHz bermaksud memperluas segmen pendengar yang selama ini ada, usia di atas 35 tahun. Dibikinlah acara Gebrak Band Pemula. Penyiar muda dirasa lebih cocok untuk memandu acara ini. Namun, karena tidak ada penyiar baru, Bung Tan (66) pun turun tangan.
Pada akhirnya, andalan RKM tidak jauh beringsut dari acara seperti Pentas Keroncong, Sandiwara Jawa, Sunda, Minang, Gending Jawa, dan Tembang Kenangan. ”Kami memiliki pendengar setia untuk ini. Ada komunitasnya lagi,” kata Direktur Utama (Dirut) RKM Tuning Saroso.
Kenyataan itu berkebalikan dengan Radio Gen, misalnya, yang usia karyawannya antara 25 hingga 30-an tahun. Direktur Utama Gen Adrian Syarkawi berusia 38 tahun. Pasar pendengar yang dibidik Gen (98,7 MHz) yang mulanya berusia 18-35 tahun juga terseleksi menjadi usia antara 20 hingga 24 tahun—usia anak kuliah dan pekerja pemula. Dari sini bisa dilihat, betapa radio saat ini makin tersegmentasi, membatasi usia pendengar dengan membatasi program. Bayangkan jika 1.300 radio di seluruh Indonesia (sekitar 800 yang resmi) menyajikan program yang sama untuk segala usia. Sangat sulit menggaet pendengar setia. Tak heran jika radio makin mempersempit diri. I-Radio atau Indonesia Radio hanya memutar lagu-lagu dari penyanyi Indonesia. Lalu ada Female Radio yang dari namanya sudah ketahuan segmen mana yang dibidik.
Prambors, yang dulu selalu memutar lagu-lagu top 40, kini memutar haluan, yaitu memutar lagu-lagu grup indie. ”Sejak dua tahun lalu, kami memiliki acara Thursday Riot. Ini siaran musik indie secara live dari genre britpop hingga emo,” tutur Program Director Prambors Niken Puspitawangi. Ramako kini berganti nama menjadi Lite FM dengan semboyan the best slow hits station. Bagaimana dengan Elshinta, Suara Metro, hingga RRI? Atau bagaimana dengan radio dangdut semacam Bens, DangdutTPI, dan Megaswara? Tiga radio dangdut itu menempati rating pertama, kedua, dan keempat berdasarkan survei AGM Nielsen terhadap radio-radio di Jakarta. Dangdut di Bens berbeda dengan dangdut di Megaswara. Betapa margin segmen pendengar mereka menjadi makin tipis.
Memberi mau pendengar
Berkebalikan dengan Gen, Elshinta yang siaran di 90,0 MHz justru tidak sekalipun memutar lagu selama 24 jam siaran. Radio ini menjadi satu-satunya stasiun yang khusus memberi berita dan informasi. Meski sangat membosankan, strategi ini justru membuat radio dengan tagline news and talk ini bertahan di tengah ketatnya persaingan di bisnis siaran radio. Elshinta berada di rating empat (non-dangdut) atau meraup pendengar 2,09 juta orang. Pemimpin Redaksi Radio Elshinta Iwan Haryono mengungkapkan, pemasang iklan rela antre untuk mendapat jatah slot siar. ”Antreannya sampai 3-6 bulan. Ada yang pasang slot iklan untuk lima tahun sekaligus,” katanya. Informasi dari Elshinta juga menjadi salah satu acuan buat warga, pejabat, polisi, dan wartawan media lain. Tidak sekali dua kali kantor berita asing melansir informasi dari radio yang berdiri tahun 1968 ini. Padahal, sampai tahun 1990-an Iwan masih bingung mengembangkan radio yang waktu itu masih radio spesialis musik jazz. Momen kerusuhan Mei 1998 menjadi awal mula radio ini mengarah ke radio berita, hingga akhirnya diresmikan tahun 2000.
Merombak RRI
Maka, seiring pasar yang menyempit, pendengar pun makin fanatik. Sedikit saja radio kesayangan melenceng dari jalur, kritik berdatangan. RKM, misalnya, pernah mendapat protes bertubi-tubi gara-gara menyiarkan iklan obat kuat. Wah, itu memang menyimpang dari semboyan RKM: lembut suaranya manis bisikannya.
0 comments:
Post a Comment